Friday, January 14, 2011

Moon’s Lonely Seoul ~ 3rd Chapter: Second Day~First Half (Notes of My Quests in Seoul & Kuala Lumpur)

THE QUEST: 3rd Chapter part 1
2nd day: 10 November 2010

Rencananya mau bangun dan pergi dari jam 9. Tapi apa daya, bener kata Widhi, i should‘ve take more rest karena perjalanan panjang semalam. Bener aja, baru bangun jam 10-an iianm. Widhi dari pagi sudah pergi ke kampusnya. Yang ada di rumah pagi itu cuma saya dan Liyu, Widhi’s roommate. Dia baru tiba di rumah mungkin sekitar jam 3 pagi. Setelah beres-beres lipat ondol-nya, kami bergantian mandi dan setelah itu saya menyiapkan tas dan barang-barang yang diperlukan untuk trip hari ini, sementara Liyu masak tteokbokki dan lauk lainnya dan dengan baiknya membuatkan saya teh hangat. Kami sempet ngobrol banyak. Liyu kira saya temannya Widhi dari Bandung. Begitu dijelasin, dia baru ngeh. „Pantes logatnya kedengeran logat Jakarta“, katanya. Dan ternyata dari percakapan kami, Liyu kenal dengan beberapa teman SMU saya  karena dulu mereka sama-sama di FEUI. Yah, dunia memang sempit. Saya sering alami hal-hal seperti ini di sepanjang hidup saya, ketemu jauh-jauh di negara orang, ternyata kenal atau ada hubungan dengan si A,B yang saya kenal di Indonesia atau sebaliknya. Setelah brunch, saya dan Liyu berangkat dari rumah sama-sama, berhubung sekalian keluar. Sebetulnya sudah digambarkan peta untuk ke stasiun Metro-nya sama Widhi semalam. Cuma, karena sekalian jalan sama Liyu, saya diantar sekalian sebentar karena jalannya searah.


part of main campus Konkuk University (Google)
Oh iya, jalan yang ditempuh kali ini beda dengan semalam, karena itu jalan pintas. Setelah keluar rumah, kami ke arah kiri, bukan ke kanan melewati gang tikus kemarin. Melewati komplek perumahan setelah itu berbelok kiri melewati jalan yang mungkin cukup 2 mobil kalau mepet, dan terus mengikuti jalan sampai ketemu jalan besar. Di kanan-kiri-nya ada beberapa toko. Yang saya ingat ada tailor, rumah makan, cafe kecil dan wartel merangkap waserba kecil. Setelah ketemu jalan besar, Jayang-dong iianm *refer to map*, kami belok ke arah kiri. Di situ sudah mulai ramai dengan banyak pertokoan, jalan metro dan mall. Yang paling saya ingat, di sudut jalan tidak jauh dari belokan ke rumah, ada gerai kecil Baskin Robbins yang memajang….errr…apa tuh ya istilahnya? Pokoknya foto reklame 1:1 berbentuk Nichkhun Horvejkul, salah satu artis K-Pop, anggota 2PM yang ber-WN Amerika keturunan Thailand dan Cina *nyontek dari mbah gugel dan tante wiki* :P Entah kenapa eye-catching banget. Mungkin karena saya sering lewat situ kali (selama beberapa hari). Lalu kami menyebrang. Baru siang itu saya ngeh kalau mall yang disebut-sebut Widhi semalem itu adalah Lotte Department Store dan Star City yang saya lihat sekarang ini “full-version”-nya dari seberang. Di sebelah kanan saya adalah gedung utama Konkuk University. Oh iya, sekedar informasi yang gak penting,.Lee Min Ho-nya Boys Before Flower dan Choi Min Ho-nya SHINee kuliah di sini. Tapi saya gak ketemu siapa-siapa sih. Jangankan saya yang cuma turis, temen-temen yang kuliah di situ aja hampir gak pernah! Pernah sekali katanya kelihatan waktu ada festival kampus.  Well, cukup dengan info gak pentingnya, lanjut lagi ke cerita utama :D


Lotte Dept. Store taken from Konkuk Station (Google)
Sebetulnya di barisan Lotte Dept. Store tadi ada gedung Konkuk juga, lupa itu bagian apa. Liyu tidak langsung ke kampusnya dulu karena mau menunjukkan jalan ke bank dan stasiun sekitar 300 meter dari situ. Di sebelah kampus utama terdapat Rumah Sakit Universitas Konkuk. Sampai perempatan besar Gwangjin-gu *sepertinya*, Liyu menunjuk stasiun metro Kondae-Ipgu (Konkuk University) yang ada di seberang jalan. Fyi, metro di Seoul berjenis amphibi aka naik-turun ke atas jalan, gak selalu di bawah tanah. Lalu kami belok kanan, sekitar 50 meter dari situ banknya, ada di lantai 1. Di situ saya pisah dengan Liyu. Dia balik ke kampusnya melalui rumah sakit universitas yang memang bisa tembus ke main campus. Saya naik tangga yang letaknya memang di luar, bukan di dalam gedung dan menyiapkan uang yang akan ditukar, lalu masuk ke dalam.
University Hospital of Konkuk University (Google)
Kalimat yang pertama saya dengar dari pegawai bank adalah typical Korean greeting, „annyeong haseyo“. I just replied with the same phrase and nodded alittle bit. Lalu saya menghampiri salah satu pegawai wanitanya dan berbicara dengan bahasa Inggris untuk menukar uang. Saya sih yakin pegawai bank biasanya paham, jadi santai aja. Setelah selesai transaksi saya berdiri dan siap-siap pergi.  She stood up and bowed with smile, “Ye, gamsahamnida. Annyeonghigaseyo , as I said, “Gamsahamnida” and bode farewell to her. “Annyeonghigyeseyo”, I nodded and left the bank

Saya jalan menuju stasiun metro yang ditunjukkan tadi dan menyebrang melalui zebra-cross. Lampu hijau pejalan kakinya cukup lama, mungkin ada sekitar 2-3 menit, karena itu perempatan jalan besar dan traffic-nya lumayan padat. Di sela-sela menunggu saya mengamati kesibukan para pejalan kaki dan kendaraan lalu-lalang. Yang cukup menyita perhatian saya adalah pengemudi mobil di sana gak beda jauh dengan Eropa, terutama Jerman, yang selalu mendahulukan pejalan kaki, TAPI agak „barbar“ sedikit, terutama pengemudi taksi. Saat lampu merah, mobil itu lumrah sekali berhenti di tengah-tengah zebra-cross, sehingga imo cukup mengganggu mobilitas para pejalan kaki yang padat menyebrang, terutama kalau lagi rush-hour. Yah, kalau dibanding di Indo sih bukan hal yang aneh sama sekali sih :D



ticket+reload T-Money vending machine






 (Google)


Lalu, saya masuk gate-nya dengan men-tapping kartunya - kalau single card, kartunya memang harus dimasukkan dan harus diambil lagi, dan  ketika selesai perjalanan, uang sisanya bisa direfund di vending machine tertentu . Awalnya sempet cemas karena kartunya sempet gak kebaca alias failed dan bikin orang lain nunggu karena “kebodohan” saya. Untungnya ke-2x nya berhasil dan memang lagi gak banyak orang. Credit-nya langsung terpotong dan terlihat jumlah sisanya. Fyi, tidak seperti sistem Eropa atau US yang punya tiket harian, Seoul mirip seperti Singapura yang menerapkan sistem per km atau seberapa jauh perjalanan yang kita tempuh. Basic-nya, the charged fare sampai 10 km pertama 900 KRW, antara 10-40 km additional 100 KRW/5 km, dan lebih dari 40 km additional 100 KRW/10 km. Untuk lebih jelas, bisa dilihat website-nya langsung di http://seoulmetro.co.kr/. Seems indeed complicated fare-system, karena saya juga awalnya sempet bingung, gak pernah ketemu sistem yang begitu sebelumnya. Tapi karena sudah otomatis terpotong dari setiap perjalanan, saya gak mau ambil pusing dengan itu semua, tinggal tapping ketika masuk dan retapping waktu keluar, that’s it, case closed! :P



Seoul Metro entrance
Sebelum naik, just in case, saya recheck jalur metro di widget hp yang diinstalled sebelumnya waktu di Indonesia. Bestie saya kasih beberapa link untuk unduhnya, tapi gak ada yang cocok dengan hp saya dan akhirnya cari sendiri dengan bantuan mbah gugel, untungnya ada. Saya harus naik line 2 arah Seongsu/Mullae dan turun di stasiun City Hall. Lalu saya naik tangga lagi ke arah sebelah kanan dari pintu masuk. Jadi stasiun ini tingginya 2 lantai. Bener-bener olahraga selain jalan kaki 700 meter dari rumah ke stasiun.

Seoul Metro Map (Google)



Konkuk University Station.
taken from Lotte Dept.Store side (Google)

Fyi, rata-rata stasiun metro di Seoul itu dalam-dalam atau tinggi-tinggi, bisa 2-4 lantai ke bawah atau atas. Elevator di setiap stasiun hanya ada di tempat-tempat tertentu yang entah kenapa agak tersembunyi. Jadi mostly orang keluar-masuk stasiun metro pakai tangga manual! Eskalator memang ada, but in  some stations tetap saja harus naik tangga biasa dulu yang cukup tinggi, mungkin saking dalamnya. Dan gak beda jauh dengan Jepang, angka bunuh diri cukup tinggi. Maka dari itu, di setiap stasiun, platform-nya dipagari dengan pembatas kaca, baik yang full tertutup untuk yang di bawah tanah, maupun yang atasnya terbuka untuk stasiun yang di atas. Dilengkapi banyak pintu otomatis yang hanya terbuka kalau kereta sudah tiba untuk keluar masuk penumpang. Jumlahnya sebanyak jumlah  pintu metro. Saya lupa, mungkin sekitar 30 pintu, karena memang keretanya sepanjang KRL Indo. 



sign of Konkuk University Station (Google)
Lalu, saya menunggu metro datang. Gak begitu lama sebenernya, mungkin frekuensinya 2-3 menit sekali. Entah kenapa, ada seorang nenek yang muncul dari tangga dan tiba-tiba menyapa saya. Saya hanya bisa membalas sekenanya and bowing a little bit and smile to her, as she asked me a question in Korean I didn’t understand about. Mungkin dia mau tanya asal saya dari mana, tapi saya sudah terlanjur gak begitu dengar apa yang  dibilang tadi. Selain itu, sebetulnya saya parno sih, karena bestie pernah bilang hati-hati dengan orang yang deketin dan tiba-tiba nyapa, karena di sana banyak misionaris terselubung. Jadilah tambah gak konsen lagi buat jawab pertanyaan-pertanyaan dari orang yang tak dikenal itu huhuhu.

Untung gak lama, keretanya dateng. Saya sengaja pilih pintu yang agak jauh dari tempat nenek itu berdiri. Keretanya cukup lowong karena bukan rush hour, tapi semua kursinya penuh dan saya berdiri dekat pintu. Oh, kecuali kursi untuk disabled person dan orang tua. Tapi gak ada orang biasa yang duduk di situ selain yang disebutkan. Bentuk fisik dan interior dalamnya persis seperti KRL Indo, tapi pastinya lebih bersih terawat dan modern. Ada peta jalur metro dan beberapa iklan, dan layar tv  yang berguna untuk iklan dan informasi stasiun. Informasinya juga bilingual, bahkan di halte-halte  strategis atau objek wisata, ada tambahan bahasa Jepang dan Cina. Mungkin karena waktu itu sedang berlangsung G20, jadi lebih upgrade :D

sample 2 kinds of Seoul Metros (Google)

interior Seoul Metro (Google)
special seats:  senior, disabled person, mother w/ small child(ren) (Google)




Seoul Metro TV screen (Google)
Waktu saya masuk, orang-orang di dalam kereta sempat beberapa saat menatap saya, lalu melanjutkan aktivitas masing-masing. Mungkin karena saya pakai kerudung dan bermata lebih belo dari mereka :)) Bestie said, di sana masyarakatnya cenderung homogen, jadi kalau ada yg „beda“, akan cukup menarik perhatian mereka. Ada yang agak sinis, ada yang cuma sekedar ingin tahu, tapi ada pula yang tersenyum. Yah, tergantung orangnya sih. Kalau soal mata „belo“, jadi inget yang Liyu bilang waktu tadi kami jalan bareng. „Nanti pas jalan pasti ada orang yang bilang cantik. Orang-orang sini suka dengan orang yang matanya besar dan punya eyelidI just kept her word in my mind for positive thinking hahaha.
Oh iya, setiap kali berhenti di setiap stasiun, selain announcer yang oleh saya juluki „e-eonni“, diputar juga musik pendek khas Korea atau di line-line lain potongan musik klasik, kinda interesting.
Gak berapa lama, ada kursi kosong karena penumpang yang turun. Saya gak langsung duduk dan tadinya mau berdiri saja. Tapi, hari ini saya harus jalan seharian, jadi jangan buang-buang energi. Akhirnya setelah lewat 1 stasiun, saya memutuskan untuk duduk. It took about 20 minutes to City Hall Station. Cukup jauh memang, karena daerah Konkuk University ada di bagian timur kota Seoul.

Sampai juga di stasiun City Hall. Karena saya masih newbie dan agak sotoy, saya cuma ikutin ke mana orang pergi. Padahal, pintu keluar di setiap stasiun itu BANYAK! Bisa 10 lebih, dan jaraknya cukup jauh satu sama lain. Saya lupa keluar di pintu berapa, sepertinya gate 10, pokoknya mendekati arah Namdaemun, yang sebenernya salah pintu, malah menjauhi tempat yang akan dituju, Deoksu-gung atau Deoksu Palace. Saya celingak-celinguk cari tanda jalan dan menyusuri jalan ke arah perempatan besar, just following my intuition, dan ternyata intuisi saya kali ini benar. Setelah ketemu jalan besar Daepyeongno, saya belok kiri dan sekitar 200-300 meter jalan terlihatlah gate besar Deoksu Palace, my first destination in my Seoul trip. Sebenernya ada gate metro yang langsung keluar dekat situ, tapi karena salah keluar, terpaksa harus jalan lagi.

City Hall Station sign (Google)
City Hall Station (Google)

inside City Hall Station (Google)


Sampai sana sekitar jam 12.30, sudah cukup siang. Di depan pintu masuknya ada 2 petugas  (atau relawan ya?) wanita yang masih relatif muda, memakai tanda “Can I help you” di bajunya yang sedang mengambil foto 2 orang turis bersama beberapa penjaga istana. I took one picture of the the palace’s gate once and I bought the entrance ticket. Fyi, it’s cheap, 1.000 KRW, just about 1 USD! I did some researches sebelumnya tentang harga tiket masuk tiap-tiap istana. Lalu, saya masuk ke dalam istananya melewati para penjaga istana dan petugas yang memeriksa tiket. Area istananya memang tidak begitu besar dibandingkan Gyeongbok-gung atau Gyeongbok Palace yang nanti akan saya kunjungi. Saya sempet bingung mau ke mana dulu sambil liat brosur yang diambil di pintu masuk. Tadinya mau ikut rute rombongan wisatawan lain, tapi saya putuskan langsung ke main palace-nya saja sambil foto-foto sekitarnya. Ada 2 perempuan muda yang duduk di depan meja  memakai hanbok musim dingin yang membagikan selebaran di dekat situ.


-idem-
Deoksu Palace main gate


Jalannya bercabang 2 yang di tengahnya dipisahkan oleh taman dan pepohonan. Saya menyusuri jalan sebelah kanan. Ada beberapa pohon yang masih hijau, sisanya sudah berwarna kuning atau merah. Lalu saya menaiki beberapa anak tangga dari sebelah kiri. Memang istana utamanya lebih tinggi. Ada gazebo khas Korea dekat tangga di pojok kiri, dan di depannya sebuah pelataran cukup besar. Di bagian kirinya ada sebuah gate besar, dan di bagian kanan-nya adalah main palace of Deoksu
 gate at Deoksu's yard
main palace of Deoksu









I took some pictures there and then climbed some stairs to see inner main place from outside. Memang gak bisa masuk ke dalamnya karena memang dilarang dan diberi pembatas. Jadi para wisatawan hanya bisa melihatnya dari batas itu. Saya bertemu seorang wisatawan lokal tengah baya yang ramah dan tersenyum ketika melihat saya, meskipun tidak menyapa.  Mungkin dia tahu, kalau disapa pun, saya gak ngerti :)) Gak lama, saya turun dari situ. Saya mau difoto di pelatarannya dengan latar main palace dan gate-nya, tapi berhubung saya sendiri, mau gak mau harus minta tolong ke orang. Saya celingak-celinguk cari orang.

no entry warning!

inside of Deoksu's












upper of Deoksu's











Yang ada di sekitar situ cuma seorang kakek dan cucunya. Tadinya ragu sih, masalahnya kalau orang tua biasanya gak bisa bahasa Inggris. Yah, daripada gak ada, saya beranikan diri aja dengan berbekal pengetahuan bahasa Korea pas-pasan yang dipelajari otodidak.
Sillyehamnida, nae sajin jjigoyo?”. Saat itu saya gak peduli dengan politeness level pada kalimatnya, yang kepikiran cuma itu.
harabeoji's capture result
 ”Mwoyeyo? Igo?”, kakek itu mengangguk dan memastikan
Iye”, saya jawab sambil nunjuk tombol kameranya.  
Click! And it’s done. 
Gomapseumnida”, I bowed properly. Well, hasilnya gak seperti yang diharapkan sih, ada beberapa yang gak kena, tapi it’s better than nothing lah. 





Lalu saya lanjutkan perjalanan ke area sebelahnya. Di depan saya terlihat taman bergaya modern dan sebelah kirinya berdiri sebuah istana bernuansa Eropa. Di seberang tamannya juga terdapat gedung besar bernuansa sama, sepertinya sebuah museum. Saya gak begitu tertarik karena waktu tinggal di Jerman dulu, sudah biasa lihat yang seperti itu.




Saya lebih memilih ke arah sebelah kiri. Ada sebuah gazebo khas Korea yang memperlihatkan macam-macam benda kuil peninggalan dinasti terdahulu, ada lonceng besar, patung pemujaan+guci-guci bersejarah dan gerobak perang *sepertinya*.
Saya sempat duduk-duduk di depan gazebo sebentar, sambil nikmatin pemandangan sekitar dan lihat anak-anak SD yang sedang berkarya-wisata, berkumpul di kantin sambil ngobrol dan berlari-larian. Karena hari biasa, pengunjungnya gak terlalu penuh, jadi lumayan leluasa.




it's them, the Japanese mom+daughter
Setelah cukup istirahat, saya lanjut putar-putar lagi. Tapi waktu itu saya masih penasaran untuk di foto „properly“ dengan latar belakang istana dan gate-nya. Saya coba lagi ke sana, dan coba cari-cari orang yang bisa saya minta tolong untuk foto. Gak berapa lama, saya menangkap bahasa yang gak aneh di telinga saya, NIHONGO! Ada 2 wisatawan Jepang yang parasnya terlihat ramah, ibu yang berumur mungkin sekitar berumur awal 60-an dan putrinya tengah atau akhir 30-an. Mereka sedang bergantian foto satu sama lain. Youyaku, MITSUKETA! I smiled in my heart

Fyi, bagi pembaca yang belum tahu, saya lebih bisa berbahasa Jepang dibandingkan bahasa Korea yang notabene memang bahasa baru bagi saya, yah meskipun bukan expert juga sih hehehe. Lalu saya menghampiri mereka.
Ano, sumimasen. Watashi no sasshin, totteimasuka?”
Mereka sempet kaget terheran-heran, lalu tersenyum.
Ee, mochiron”, angguk si ibu, sementara si anak memegang barang-barang ibu-ibunya.
Sou iu kanji desune?”, dia memastikan latar gate-nya seperti yang saya inginkan. Koko desuka?”, sambil menunjuk tombolnya.
Hai, onegaishimasu“, i smiled.
 “Torimasu yo! Smairu!”. Click!
Mou ichido”, she said. Once more. Click!
This time I checked both pictures and it was GOOD!
Mou hitotsu no ii n desuka?”, I asked her another picture with palace background. Click!
It’s a good picture too, I was satisfied!
Arigatou gozaimashita”, I said and nodded a little bit.
Dou itashimashiteNihongo ga jouzu desu ne!”, ibu itu kelihatan senang sekali saya bisa berbahasa mereka.
 “Iie”, I smiled.
Jya, futari no sashin mo totte kudasaimasuka?”, anaknya meminta saya dan member kameranya untuk mengambil foto mereka berdua.
captured by obasan
Jya, ichi…ni…san!” Click!
Mereka lalu berterima kasih dan kami sempet ngobrol sebentar.
Nihongo ga jouzu desu ne!”, si ibu mengulang pujiannya lagi.
Kali ini saya jawab, “Arigatou gozaimashita”, biar ibunya senang dan merasa pujiannya diapresiasi deh :D
Doko kara kimasuka?”, she asked me where I am from.  
Indonesia kara desu”, I replied.
Aaa, Indonesia-jin desu ne
Hai. Sou desu
-ditto-
Lalu putrinya bertanya sesuatu, tapi saya tidak begitu dengar.
Hai?”, saya ingin dia mengulang pertanyaannya.
Kankokugo mo dekimasuka?”, dia bertanya apa saya bisa berbahasa Korea juga.
Aaa…sukoshi”, I smiled. Mestinya sih saya bilang amatir! Hahaha.
Heee…ii desu ne”, they were amazed.
After that we bode farewell.
Jya, sayounara”, they smiled and bowed.
Sayounara”, I did the same gestures as them.




Setelah itu saya ke bagian belakang istana. Gak banyak yang bisa dilihat di situ. Ada dua tempat yang sepertinya dipergunakan untuk ruang pertemuan dan yang satunya lagi untuk jamuan makan. Setelah foto-foto sebentar, saya keluar dari Deoksu-Palace. Mungkin saya di situ hanya 30-45 menit-an.

conference hall
dining hall









-ditto-
interior of dining hall













*maapgaktaukenapahasilnyaginipadahaldahrotated*
Sebelum melanjutkan perjalanan, saya minta salah satu dari „Can I Help You“-person untuk foto saya di depan pintu masuk bersama penjaga istananya, seperti yang dilakukan turis tadi. 2 times: Click! Click! Lalu saya sempet tanya-tanya, sekalian memastikan tempat dan arah. Ternyata 10 menit jalan kaki dari sini, lurus terus mengikuti jalan besar, jawabnya dengan bahasa Inggris yang sepotong-potong, tapi cukup bisa dimengerti ;)) 




kind of grave stone
-ditto-
Lalu saya menyusuri sepanjang jalan besar Daepyeongno dan foto-foto objek sekitar. Yah, berhubung trip saya bersamaan dengan pelaksanaan G20 di Seoul, maka banyak sekali reklame mulai dari umbul-umbul sampai spanduk super besar yang dipajang di gedung perkantoran.  Fyi saya gak niat untuk pergi tanggal segitu karena ada G20 lho. Saya malah GAK TAU SAMA SEKALI KALAU ADA EVENT INI DAN YANG JADI TUAN RUMAH ADALAH SEOUL! :)) Saya kira waktu lihat sisa-sisa security-check di bandara Incheon yang cukup ketat, event-nya udah selesai dari beberapa hari yang lalu. Ternyata baru dimulai tanggal 10, hari ini! What a coincidence! *stupid! it aint coincidence! I'm just too lousy and ignorant!!!* 

City Hall area


 Dan saking ignorant-nya, saya sampai gak ngeh dan masih berpikir dengan bodohnya: POLISI DI SEOUL BUANYAK BUANGET!  Lalu lalang di mana-mana, ada di setiap sudut dan tiap 100 meter! Apalagi yang berjaga di setiap stasiun metro. Saya pikir, “Ini kota hebat banget, penjagaannya sampai seketat ini! Saya merasa aman sekali! Even di Jerman gak segininya!”, dan masih mengira memang begitu setiap harinya. Makanya saya salut banget ! ()ノ_彡hahaha -> OBAKATARE!



Gwanghamun Square from afar
Gak begitu lama, dari kejauhan mulai terlihat jalan yang mulai membesar, it’s the famous Gwanghamun Square! Salah satu tempat syuting k-drama, IRIS, yang waktu pembuatannya membuat jalan itu macet total! *sekilas info yang gak penting* :D 

Untuk mencapai sana, saya harus menyeberangi some interserctions dan zebra-crosses karena traffic-nya padat sekali. Tadinya saya mau mampir ke tourist information yang terletak di pojok intersection, gak jauh dari pintu keluar Gwanghamun Station, yang entah gate berapa. Tapi saya mengurungkan niat dan melewatinya saja.
Saya menunggu sampai lampu hijau pejalan kaki nyala di penyeberangan terakhir menuju Gwanghamun Square. Dari situ sudah tampak Gyeongbok Palace plus bukit besar di belakangnya. Perpaduan yang bahasa lebay-nya disebut “spektakuler”. Karena Square-nya memang berada di di tengah-tengah dan dikelilingi jalan besar. Di tengah kerumunan, saya melirik sekumpulan orang yang berisik sekali berbicara satu sama lain dan SAYA MENGERTI 100%! Tak lain dan tak bukan adalah sekumpulan orang Indo! Kemungkinan besar kelompok tour dari travel gaya-gayanya sih. Mereka berbicara tentang  udara Seoul yang memang siang itu cukup dingin, tapi saya lupa detilnya. Saya diam saja dan tetap konsen ke lampu penyeberangan. Tapi memang dasar orang Indo, pasti rasa penasarannya tinggi.
Salah satu perempuan melihat saya dan langsung menanyakan, „Orang Indonesia ya?”
Saya tersenyum mengiyakan.
Lalu dia nyeletuk, “Duh dingin banget ya. AC-nya kecilin kenapa?“
“Iya  nih”, teman-temannya yang lain menimpali.
“Gak ada yang pegang remote-nya sih, mba “, jawab saya spontan.
“Hahaha iya. Ngomong-ngomong tinggal di sini?”
“Gak, saya lagi jalan-jalan  aja”
“Oooh…”
Percakapan gak berlangsung lama karena lampu hijau pejalan kaki sudah nyala. Saya kira mereka mau ke tujuan yang sama, ternyata beda.
“Duluan ya. Selamat jalan-jalan”, they bode farewell and were in hurry, catching their group in the front.

Lalu saya berbelok menuju pusat Gwanghamun Square mendekati arah Gyeongbok Palace. Daaan, DENGAN ELOKNYA, saya gak lihat jalan dan kaki kiri saya tercebur ke dalam saluran kecil air mancur yang memang mengalir dan mengelilingi jalan itu! GOOD GRIEF! Gak sampai kuyup banget sih, tapi cukup membuat sepatu boot suede coklat saya basah. Untungnya, boot-nya agak tebal dan cepat kering, jadi airnya gak sampai  rembes ke dalam kaos kaki! Bisa freezing ini kaki kena air di cuaca yang dingin itu! (T_T)
Admiral Yi Shun Shin statue
Dan seperti saya bilang, polisi juga banyak yang berjaga di sekitar situ. Entah kenapa, mereka konsentrasinya tinggi sangat ya? Ancestor-nya mungkin dulu para penjaga istana yang bisa berjam-jam jagain istana bak patung? Mereka berdiri tak bergeming, gak kalah sama patung Admiral Yi Shun Shin dan King Sejong  yang memang berlokasi di situ! :)) Sebelumnya juga sempet lihat di salah satu pintu keluar di Gwanghamun Station. Para polisi yang relatif masih muda bergantian shift menjadi “patung” penjaga  XD
-ditto-
Di belakang 2 polisi yang berjaga di sisi kanan dan kiri, terdapat air mancur dan patung Admiral Yi Shun Shin yang tadi saya sebutkan. Di situ ada seorang fotografer (???) *entahlah* tengah baya memakai kamera SLR sedang mengambil foto-foto. I asked him to take picture for me and he took me 2 pictures and I thanked him. Oh kali ini dan seterusnya, saya selalu bertanya dengan bahasa Inggris, karena orang yang saya temui berikutnya bukan orang tua lagi, melainkan pekerja kantoran, mahasiswa dan turis! *play safe* :P
King Sejong Statue
-ditto-
Lalu saya melanjutkan perjalanan menyusuri Square dan foto objek-objek sekitar. 100 meter berikutnya terdapat patung King Sejong. Siapakah dia? Gugling or wikiing sendiri aje ye, biar blognya gak tambah panjang :D Kali ini yang ambil foto saya adalah mahasiswa Korea bersama temannya. Dan di sebelah kiri, ada stand untuk peminjaman baju penjaga istana bagi yang berminat. Ada sekelompok turis muda kulit putih, hmmm…entah dari mana, sedang ber-cosplay dan berfoto-foto. I wasn’t really interested to try! Dari dulu saya di Jerman, paling malas yang namanya melepas pakaian winter yang berlapis-lapis kalau gak terpaksa. It’s too troublesome!!!  ̄へ ̄ Even saat shopping dan fitting pun. Kalau keliahatan cocok dan bisa gak usah dicoba lagi, ya ambil saja. Lagipula hampir semua barang di Jerman bisa ditukar atau dikembalikan kalau gak cocok :P Gak kaya’ di mostly Indo yang di bonnya pun sudah diwanti-wanti, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan kembali” (*´ο`*)=3 




Kemudian saya lanjutkan perjalanan. Di belakang patung, tepatnya di bagian underground, ada museum, King Sejeong Residence. Saya gak ngeh sebelumnya kalau ternyata yang dimaksud bestie itu tempatnya di situ, kirain somewhere else terpisah. Saya agak ragu masuk ke dalam, soalnya tempatnya memang agak tertutup dan dijaga petugas, jadi saya sempat memfoto pilar-pilar di sekitar situ dengan berlatar belakang Gyeongbok Palace dari kejauhan. Kinda nice :)
Pada akhirnya saya mem-pede-kan diri untuk masuk. Heee, petugasnya berpakaian formal dan rapi sekali, menyapa, "Annyeonghaseyo", and I just replied the same phrase and nodded.




Sejong Residence
its entrance wall hall (left)
Di dalamnya menurut saya sih mirip museum tentang sejarang Kim Sejeong dan hangeul. Gak besar sih. Tapi cukup banyak penjelasan menarik tentang sejarah asal mula huruf Korea, hangeul, dibuat. Dan uniknya, beberapa tempat duduknya juga berbentuk ukiran hangeul, yang menurut saya sangat artistik. Waktu saya menuju keluar, saya lihat tempat untuk berfoto yang sengaja dibuat sebagai studio kecil, dengan bangku dan latar belakang Korean-artI could say kursi raja wannabe lah :D Di situ ada 2 pasangan, sepertinya berasal dari Eropa timur yang sedang bergantian foto. Dan tentu saja saya „manfaatkan“ untuk minta sekalian difoto. They’re quite nice thou’.

its entrance wall hall (right)
old script book









"hangeul" seat









captured by East Europeanese
hangeul developments time to time














Gyeongbok Palace from Sejong's Residence
Saya gak begitu lama di situ dan langsung menuju ke Gyeongbok Palace yang jaraknya sekitar 200 meter dari situ karena hari sudah agak sore, sekitar jam 15 iianm. Apalagi sudah dekat winter, langit lebih cepat gelap dari biasanya. Saya sempat foto istananya dari seberang dan melihat banyak sekali wisatawan yang berkumpul di situ untuk foto-foto. Dibandingkan Deoksu, istana ini jauh lebih besar dan lebih ramai pengunjung. Dan seperti biasa saya „merepotkan“ orang lagi, dan ternyata belakangan ketahuan dia wisatawan Jepang, kelihatannya masih mahasiswa dan his English pronounciation was quite good. Entah dia sendiri orang Jepang atau berbicara bahasa Jepang karena temannya orang Jepang??? *banyak sekali kata Jepang-nya* ;)) Soalnya saya cuma mendengar dari jauh. Daaan untuk menuju sana, saya harus menyeberang sebuah jalan yang lampu hijau pejalan kakinya was LIKE FOREVER! It took 10 minutes! The other pedestrians were  also impatient and seemed annoyed thanks to that dam*ed traffic light!
across main gate of Gyeongbok



Gyeongbok main entrance
Di pintu utamanya, banyak orang yang bergerombol mengambil foto dengan para penjaga istana luar.
-ditto-
I took a glimpse for a second and entered the gate. There’s a wide empty field there dan dari situ terlihat gate lapis ke-2 yang merupakan pintu masuk sebenarnya ke dalam komplek istana yang sebenarnya. Kira-kira jaraknya 100 meter. As I walked, I couldn’t see the ticket counter there. Ternyata ada di pojok kanan setelah masuk. Jadi saya balik lagi untuk beli tiket. It costs 3.000 KRW, about 3 USD, but toldya, it’s really while worthed! Sebelum masuk, saya sempet foto-foto dan lagi-lagi merepotkan orang, this time turis asal Belanda sepertinya.
-ditto-
Oh iya, kamera saya sempet “ngadat” lagi. Ini yang akan menyebabkan “the big disaster” of that day terjadi. It’s always low-bat even udah diganti dengan yang baru entah kenapa. Dan dengan bodohnya saya gak bawa baterai cadangan, karena saya pikir, baru diganti. Akhirnya, kadang-kadang saya foto dengan kamera hp.






its courtyard
Begitu masuk, istana utama langsung terlihat, but still you’d to walk about 50 meters from the entrance and climbed the stairs. Gak begitu tinggi sih, tapi lumayan lah. Banyak orang-orang yang melihat dalam istana dari luar. Sekali lagi, gak boleh masuk ke dalamnya. Saya ikutan antri untuk gentian lihat-lihat karena penuh.  Saya sempet menabarak (atau tertabrak gak ngerti) kakek waktu selesai , dan kami sama-sama mengucap „Joeseonghamnida“.

main palace
inside the main palace

-ditto-
-ditto-


Lalu saya menyusuri area istana dari sebelah kiri. Bener kata bestie, Gyeongbok itu LUAAAS banget. Butuh  1-2 jam sendiri untuk „tawaf“! Oh iya, waktu itu ada lalu lalang serombongan keluarga kerajaan, entah cuma cosplay atau beneran, tapi saya gak terlalu perhatikan dan hanya lihat sekilas.



Kemudian saya menuju salah satu istana yang kebetulan di dalamnya ada pameran foto dokumentasi dari sejarah istana Gyeongbok masa lalu iianm, entah karya siapa. Saya harus membuka boots untuk memasuki ruangan tersebut. Cukup repot, tapi ya apa boleh buat. Saya sempet foto dan putar-putar sebentar. Mostly yang ada di situ orang-orang tua yang tertarik dengan foto dan sejarah mungkin. Gak lama saya di situ, lalu saya keluar lagi. Nah, kebetulan rombongan keluarga kerajaan yang saya bilang tadi pas lagi ada di depan situ, dan saya buru-buru mendekati dan foto sebenatar. Gak begitu jelas sih, cuma dari belakang. Karena banyak wisatawan lain yang berkumpul di dekat situ juga, dan saya gak mau berdesak-desakan. Yang penting ada jepretan sedikit. Lalu saya melanjutkan lagi ke bagian belakang dari istana yang dipergunakan  untuk pameran tadi.

royal parade or just cosplay???




Ada sebuah danau buatan yang di tengahnya ada sebuah hmmm…mungkin tempat santai dan peristirahatan keluarga kerajaan jaman dulu. Tapi sayangnya, lagi-lagi ditutup untuk umum. Jadi wisatawan hanya bisa lihat dari seberang danau. Di pinggir danau banyak orang yang mengambil foto, baik yang amatiran sampai yang profesional dengan perlengkapan yang lengkap. Sebelum saya lanjut ke area paling belakang dari istana, saya menyempatkan diri ke toko yang ada di sebelah kanan yang berjarak kira-kira 50 meter dari tempat saya berdiri. Niatnya mau beli baterai karena seperti yang saya tulis sebelumnya, kamera saya ngadat dan selalu low bat. Ternyata setelah saya ke sana, toko kelontong itu cuma jualan souvenir. Oh well, saya gak niat beli souvenir di tempat wisata, jadi saya gak beli apa-apa dan lanjut jalan lagi. Saya mengambil rute dari kiri. Jadi saya balik ke tempat saya berdiri tadi dan melanjutkan perjalanan ke arah kiri belakang sambil menyisiri danau. Saya sempat foto objek yang sama dari arah samping, dan tiba-tiba ada seorang kakek yang menyapa saya dengan bahasa Inggris yang cukup jelas dan lumayan fasih.
Do you want  me to take you a picture?”, he asked.
Oh yes, thank you”, I smiled and gave him my camera.
Click!
“Can you take me picture too?”
“Of course”, I said.
captured by ajeosshi
Click!
“Thank you”
“My pleasure”
“Where do you come from?”
“Indonesia. And you?”
“I’m from here, I’m Korean”
“Oh, I thought you’re from Japan or China”, I replied.
“No..no…”
“I see. Well, I shall take my leave. Good bye. Thank you”, I bode farewell and nodded.
“You’re welcome. Goodbye”, he smiled.




Saya menemui taman yang cukup luas, mengingatkan saya pada Herrenhäuser Gärten di Hannover dulu. Tapi entah kenapa, daerah situ sepi pengunjung. Hanya terlihat beberapa yang berlalu lalang di sana. Even ketika masuk istananya pun sepi sekali. Meskipun sudah agak sore, untungnya masih terang. Kalau gak, sepertinya rada horor di situ :D, karena  waktu saya putar-putar di situ, tak ada satu orang pun yang saya temui. Baru waktu saya selesai, ada 3 orang yang baru datang untuk lihat-lihat.





scene from my seat
Lalu saya jalan ke arah kanan dan masih belakang komplek istana. Masih terlihat sepi. Sebetulnya ada tempat duduk di tengah-tengah jalan setapak. Niatnya saya mau istirahat sebentar di situ, karena sumpah!...kaki saya udah pegel dan mati rasa! Tapi begitu lihat jam yang sudah agak sore, saya memaksakan diri untuk terus jalan sampai saya menemui area yang cukup ramai lagi dengan pengunjung. Ternyata mereka banyak berkumpul di daerah sini. Yah, memang banyak objek menarik yang bisa dilihat sih. Saya sempat foto objek-objek dari tempat saya berdiri dan akhirnya memutuskan untuk DUDUK, karena seharian saya hampir tidak jeda istirahat sama sekali. Itu pun gak lama, karena saya harus kejar waktu sebelum hari gelap. Setelah 5-10 menit menyelonjorkan kaki dan menghirup hawa segar, saya menuju paling area paling belakang istana.



Ada sebuah gate besar di kirinya yang dijaga seorang petugas keamanan yang relatif masih muda dan wisatawan yang masuk ke situ. Tadinya saya ragu untuk ke sana, saya kira itu bagian istana yang memang sedang ditutup dan dilarang masuk. Jadi sebelum saya memutuskan untuk ke situ, saya sempet foto istana yang berada persis di kanannya.





Lalu saya masuk ke gerbang itu dan ternyata itu adalah pintu keluar bagian selatan dari gerbang utama. Saya balik lagi untuk masuk, tapi kali inipetugas keamanan itu mendekati dan menanyakan saya. Tadinya saya tidak mengerti karena pertamanya dia bicara bahasa Korea, lalu dia mencoba bicara dengan bahasa Inggris logat Korea yang terputus-putus, tapi cukup dimengerti lah *nice try* :D Berikut conversation yang saya ingat dan sudah saya perbaiki grammar-nya biar bisa dimengerti :D
„Do you speak English?“, he asked me.
“Oh, yes”, still confused, why I was like being “interviewed”.
“Where do you come from?”
“Indonesia”
“Are you a Moeslem, aren’t you?”
“Yes?”, waktu itu saya rada parno ditanya seperti itu, karena sepertinya dicurigai berlebihan.
“Oh, it’s like I thought, because you’re wearing…hijab, is that right? that thing on your head?”
“Yes”, I still shortly anwered, felt agitated.
“I’d seen it in television before, but this is the first time I’ve seen it directly. You look (….) on that”, he explained.
“Oh…”, I just replied. I didn’t understand well what he said, because of his pronounciation. I didn’t know whether he said “ugly” or “funny” or “lovely” or sounded like that. Whatever, I didn’t really care he’s talking bad or good about me and didn’t wanna make him repeat what he said to me.
“So, why don’t you check it out what’s there?”, he said.
“Is that an exit?”, I asked.
“Yes. There’s a famous Blue House of Representative building in Korea there”
“Can I enter this place again later after I go out?”, I tried to get reconfirmation.
“Of course. You still have the ticket, right?”
“Yeah. Ok then.”


Blue House
South Gate of Gyeongbok
Saya masih ragu-ragu apa apa benar saya bisa masuk lagi nantinya, karena waktu di Jerman dulu, kalau sudah keluar, ya tidak bisa masuk lagi. Ternyata di Seoul sistemnya berbeda. Kita bisa keluar-masuk kapan saja selama masih memegang tiket pada hari yang sama. Di luar gate ada sekitar 5 polisi yang berjaga. Saya foto Blue House dari situ, karena memang yang tidak berkepentingan tidak boleh masuk alias bukan untuk umum. Not bad capture, but still too far. Persis di belakang Blue House itu ada bukit menjulang cukup tinggi. Ternyata itulah bukit di belakang istana Gyeongbok yang saya lihat dari Gwanghamun Square. Cukup besar kalau dari dekat :D


Saya ambil tiket kalau diperiksa waktu mau masuk lagi. Ternyata gak perlu. Petugas loketnya cuma senyum saja. Mungin dia tadi lihat saya bolak-balik. Dan saya masuk lagi ke gate yang dijaga petugas yang meng”interview” saya tadi.
Did you see it?”
“Oh, yes. Kamsahamnida. Good bye”
“Sure. Goodbye”, still looking at me as I was leaving those place.
Oh well, he’s a nice person, who’s just curious actually. I didn’t give a d*mn over such a small thing.




Di depan pelataran besar gate itu ada sebuah teras atau lebih tepatnya gazebo berbentuk pagoda di tengah-tengah danau kecil. Sebetulnya ada jalan menuju pagoda itu, tapi lagi-lagi jalan masuknya ditutup. Akhirnya saya menyusuri pinggir danau itu sambil foto pagoda itu dari seberang danau dan pohon-pohon di sekitarnya. Karena lagi musim gugur, pemandangannya cantik sekali, dedaunan pohon-pohonnya berwarna kuning dan merah menyala. Lucky for me, pada saat itu belum rontok atau gundul. Padahal waktu di Jerman dulu, bulan November, hampir seluruh pohon sudah gundul, jarang sekali yang masih terlihat “kecantikannya”.
Waktu itu saya berada di pojok sebelah kanan kompleks istana Gyeongbok dari pintu masuk utama. Di sebelah danau yang saya susuri, terlihat jelas bangunan megah menjulang tinggi bergaya tradisional. Dari jauh pun sebetulnya sudah kelihatan saking tingginya. Sebelumnya saya tidak tahu itu bangunan apa, karena dengan bodohnya saya lupa ambil brosur istananya, yang belakangan saya ketahui itu adalah The National Folk Museum of Korea. Areanya dipisahkan dengan pagar dan loket pembelian tiket dari istana Gyeongbok. Sebetulnya saya ragu-ragu mau ke sana atau tidak. 


Akhirnya selama berpikir, saya masuk ke depan kompleks bagian agak depan, yang berarti hampir sejajar dengan istana utama, bagian sebelah kanan. Gak banyak yang bisa dilihat di situ karena isinya gak beda jauh dengan yang lainnya, lalu saya balik lagi ke tempat itu dan sempat foto-foto sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke museum. Lagian saya sudah di situ, sayang kalau gak mampir sekalian.


Saya mengantri di pintu masuk dan mengira harus membayar tiket lagi, ternyata tidak! Waktu saya mau bayar, petugas di situ memberitahu saya dengan bahasa Inggris yang yah…cukup dimengerti lah. Intinya petugasnya bilang, “You don’t have to pay anymore. You have the ticket, right?”. “Oh, yes”, I showed him my ticket. Dan dia mempersilakan saya masuk as I thanked him.

The National Folk Museum of Korea


captured by Indo tourist
art gallery market
Ternyata, museumnya merupakan bagian area dari istana Gyeongbok juga. Memang tidak sebesar kompleks utama, tapi lumayan besar. Dari pertama saya lihat dari kejauhan, saya memang penasaran sama bangunan yang tinggi itu, saya kira itu adalah Jongmyo shrine yang saya ingin kunjungi, ternyata bukan (berhalusinasi sedikit karena sudah cape dan sore) :D Di pojok kanan komples museum itu terdapat hmm…semacam pasar seni. Saya tak tertarik untuk melihat ke sana, rather saya mau foto di depan bangunan pagoda yang tinggi dengan anak tangga menjulang di bawahnya. Saya celingak-celinguk cari orang, sementara sudah banyak orang yang meangabadikan gambarnya di depan situ. Dan kali ini saya beruntung, saya bertemu dengan segrup turis Indonesia yang berada di lokasi itu dan minta tolong ke salah satunya dengan menggunakan hp. Karena seperti yang sudah dibilang sebelumnya, kamera ngadat! This time saya gak ngobrol banyak karena kami sama-sama lagi dikejar waktu. 


it's the Indo tourist-grup i met


-ditto-
-ditto-
Lalu setelah puas dengan ambisi foto di depan pagoda *lebay, labil dan norak*, saya masuk ke museumnya. Lagi-lagi tadinya saya malas masuk, lagipula akan menyita waktu. Tapi berhubung gak bayar lagi, ya gak disia-siain lah :P Museumnya sebetulnya gak begitu besar. Sesuai judulnya ,museumnya mendisplay sejarah Korea tempo dulu sampai modern, termasuk baju dan makanan tradisionalnya. Di dalamnya juga terintegrasi dengan museum anak-anak, mendisplay salah satunya tentang mainan tradisional Korea. Saya gak begitu lama di sana, meskipun sempat meluruskan kaki sebentar di tempat duduk dalam museum. Nah, mulai di situ baterai hp saya mulai agak drop. Pikir saya, gak lucu banget kalau saya lagi di negeri antah berantah dengan hp mati sedangkan malamnya saya harus janjian dengan bestie. Akhirnya saya tidak foto-foto lagi dan keluar dari museum itu.

Korean national clothes
variety of Kimchi foods

traditional men clothes

traditional Korean cooking's processes

-ditto-

 - to be continued to 3rd Chapter part 2 -