Saturday, November 27, 2010

Clairvoyance

My heart numbed

I see, I feel and I crave

In my vision...


Long passed away are

The days of sunshine

In my realm

Desperately waiting

For time stopped

And my life ceased


9 a.m.


Di sebuah kedai kopi bernama Magnolia, yang terletak di sebelah kiri Kensington Road. Aku tengah menikmati sepoci earl grey tea bergamout flavor dan sepiring ginger cake yang telah disajikan pelayan beberapa menit yang lalu. Sejenak pandanganku beralih ke luar melalui sebuah kaca besar di depanku. Orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar Grafton Street, semuanya mengenakan jaket tebal. Ya...hari ini udara dingin sekali, menurut prediksiku sore ini akan turun salju. Setelah buyar dari lamunanku, kuambil novel Russel Baker yang belum selesai kubaca dari dalam tas, Growing Up.

Suasana di kedai ini sunyi tenang, itu sebabnya aku sengaja membawa novelku dan membacanya di sini. Tempat ini juga merupakan salah satu tempat favoritku di kota ini. Entah ini hanya sugesti atau bukan, aku mulai menyukai kota Plymoth karena kedai ini. Beradaptasi dengan lingkungan baru adalah hal yang sulit untukku, tapi kali ini tidak. Aku pindah dari tempat asalku Bradford West York Shire, London. Disanalah dulu aku tinggal bersama ibu dan kakak perempuanku, sampai peristiwa itu terjadi.

-flashback-

Dari semua anggota keluarga, aku termasuk orang yang sangat pendiam dan cenderung dingin terhadap orang lain, jika bicara pun hanya seperlunya. Berbeda sekali dengan Cyril, kakak perempuanku yang cenderung banyak bicara dan mudah marah. Kakak paling benci melihat sikap dan kelakuanku yang selalu tanpa ekspresi, dimana pun dan dalam keadaan apapun, karena itulah ia sering bersifat acuh tidak acuh padaku.

Peristiwa itu terjadi ketika aku telah menyelesaikan pendidikan psikologi di salah satu universitas di Jerman. Saat sedang menandatangani ijasah kelulusanku, aku mendapat telepon dari London yang mengabari bahwa ibu telah wafat. Setelah menyelesaikan urusan-urusan yang harus diselesaikan, dari Stuttgart aku bertolak menuju London.

Di pelataran parkir depan rumah terlihat ramai dan penuh karangan bunga. Aku masuk ke dalam dan bertemu dengan familiku dan rekan-rekan ibu yang lain. Mereka berbicara sesuatu padaku, tetapi aku tidak begitu mendengarnya, mungkin ucapan belasungkawa. Pandanganku beralih ke sebuah kotak kayu besar dan panjang di sudut ruangan, tertulis Bernadette McCarthy. Itu peti ibu...
Aku menatap wajah yang telah pucat itu dengan pandangan kosong, tidak merasakan apapun. Pandanganku seketika buyar ketika Orla, sepupuku, memelukku dengan sedih, mencoba menenangkan dan menghibur. Tidak lama kemudian, derit tangga mengalihkan perhatianku. Aku kenal langkah itu, itu kakak. Badannya tampak kurus dan lunglai, matanya merah dan mukanya sembab. Dia menghampiriku.

"Kenapa kamu masih bisa seperti itu!", sambil menatap tajam mukaku. "Tidak bisakah kamu bersedih atau berduka untuk kali ini saja?!", suaranya terdengar bergetar.

Kakak menarik lenganku dan menghempaskannya.

"Lihat! Yang berbaring di sana itu ibu, bukan orang lain!!", ujarnya setengah berteriak.

"Aku melihatnya dengan jelas. Apa lagi yang harus kulakukan", jawabku datar.

"Kenapa kau bertanya lagi?! Tidak bisakah kamu menitikkan air mata sedikit pun untuknya dan sehari saja tidak memperlihatkan ekspresi konyolmu itu!!!", dia nampak marah.

"Meskipun hal itu kulakuan, tapi tetap saja tidak dapat menghidupkan ibu kembali". Lalu, sebuah tamparan keras melayang di pipiku.

Setelah itu, aku tidak begitu sadar apa yang terjadi. Hanya terdengar samar-samar ucapan kakak yang mengatakan bahwa aku adalah robot, yang dilahirkan tidak punya perasaan, menyusahkan orang lain dan yang menyebabkan ibu meninggal karena terlampau memikirkanku.

Dan itulah percakapanku yang terakhir dengan kakakku sampai saat ini.

Setelah peristiwa itu, aku pindah dari London dan berharap bisa memulai lembaran baru di sini.


-flashback end-


10 a.m.

Kututup novelku dan meneguk secangkir teh terakhir, kemudian beranjak dari tempat duduk. Aku menemui George, pemilik kedai yang juga merangkap sebagai kasir. Tampaknya dia sedang berbicara dengan salah satu anak buahnya.

"Tom, tolong antarkan pesanan ini ke Station Road", ujar George.

"Sebaiknya tidak lewat Phillmore, jalan itu ditutup karena ada kecelakaan", aku menyela.

"Barusan saya dari sana, tidak terjadi apa-apa, Miss McCarthy", jawab Tom.

"Tidak ada yang bisa menduga apa yang terjadi setelah kau kembali", jawabku, sambil menyerahkan uang pada George. Setelah mengucapkan terima kasih, aku meninggalkan kedai itu.

Aku menyusuri Grafton Street menuju Phillmore. Di kejauhan tampak terlihat garis polisi yang melingkari TKP dan ambulans yang lalu-lalang untuk mengevakuasi para korban kecelakaan. Terdengar suara seorang polisi yang sedang meminta keterangan dari salah satu saksi mata.

"Pukul berapa kecelakaan ini kira-kira terjadi?", tanya polisi.

"Hmmm, saya datang dari arah berlawanan dengan mobil kira-kira pukul 9.55 a.m. Saya melihat jam di sudut toko itu ketika kecelakaan itu terjadi. Jika saya datang lebih awal 5 menit, mungkin saya bisa memberi peringatan kepada supir mobil itu. Kejadiannya begitu tiba-tiba."

Aku yang mendengar pernyataan itu dari kejauhan, hanya bisa memejamkan mata sejenak untuk mendoakan para korban.

Ya...seandainya aku bisa mencegahnya, pasti musibah ini tidak akan terjadi. Seandainya aku punya kemampuan seperti itu, aku bisa menghubungi rumah sakit secepatnya dan mencegah ibu untuk mengkonsumsi obat itu dan dia pasti masih bersamaku sekarang.

Tapi aku tahu, hal itu tidak mungkin. Tuhan telah menentukan takdir masing-masing mahluknya. Aku hanyalah salah satu dari sekian banyak manusia yang diberi kemampuan lebih, hanya untuk melihat dan merasakan, tapi tidak untuk mengubahnya.

Aku tahu...

Karena aku mempunyai kemampuan itu...


I wish everyday were Sunday...

I wish I could see the light in the darkness to guide...

I wish I knew the sun won't rise tomorrow...

But...it's unattainable


Clairvoyance

---------------------------------------------------------------------------------------
my notes:

Question for you:
Just guess, who's the main character's name of this story?
Yang udah pernah tahu, jangan spoiler ya?! hehehe.

It's my indonesian old short story (shared already in my fs, multiply & fb account) with a bit revision that I wrote about 6 years ago when I was in 3rd grade high school. Inspired from Anthroplogy subject about one of three visions. You can read it further in wikipedia.

Last but no least, just enjoy it! (^_- )

No comments:

Post a Comment