THE QUEST: 3rd Chapter part 1
2nd day: 10 November 2010
Rencananya mau bangun dan pergi dari jam 9. Tapi apa daya, bener kata Widhi, i should‘ve take more rest karena perjalanan panjang semalam. Bener aja, baru bangun jam 10-an iianm. Widhi dari pagi sudah pergi ke kampusnya. Yang ada di rumah pagi itu cuma saya dan Liyu, Widhi’s roommate. Dia baru tiba di rumah mungkin sekitar jam 3 pagi. Setelah beres-beres lipat ondol-nya, kami bergantian mandi dan setelah itu saya menyiapkan tas dan barang-barang yang diperlukan untuk trip hari ini, sementara Liyu masak tteokbokki dan lauk lainnya dan dengan baiknya membuatkan saya teh hangat. Kami sempet ngobrol banyak. Liyu kira saya temannya Widhi dari Bandung. Begitu dijelasin, dia baru ngeh. „Pantes logatnya kedengeran logat Jakarta“, katanya. Dan ternyata dari percakapan kami, Liyu kenal dengan beberapa teman SMU saya karena dulu mereka sama-sama di FEUI. Yah, dunia memang sempit. Saya sering alami hal-hal seperti ini di sepanjang hidup saya, ketemu jauh-jauh di negara orang, ternyata kenal atau ada hubungan dengan si A,B yang saya kenal di Indonesia atau sebaliknya. Setelah brunch, saya dan Liyu berangkat dari rumah sama-sama, berhubung sekalian keluar. Sebetulnya sudah digambarkan peta untuk ke stasiun Metro-nya sama Widhi semalam. Cuma, karena sekalian jalan sama Liyu, saya diantar sekalian sebentar karena jalannya searah.
part of main campus Konkuk University (Google) |
Lotte Dept. Store taken from Konkuk Station (Google) |
University Hospital of Konkuk University (Google) |
Saya jalan menuju stasiun metro yang ditunjukkan tadi dan menyebrang melalui zebra-cross. Lampu hijau pejalan kakinya cukup lama, mungkin ada sekitar 2-3 menit, karena itu perempatan jalan besar dan traffic-nya lumayan padat. Di sela-sela menunggu saya mengamati kesibukan para pejalan kaki dan kendaraan lalu-lalang. Yang cukup menyita perhatian saya adalah pengemudi mobil di sana gak beda jauh dengan Eropa, terutama Jerman, yang selalu mendahulukan pejalan kaki, TAPI agak „barbar“ sedikit, terutama pengemudi taksi. Saat lampu merah, mobil itu lumrah sekali berhenti di tengah-tengah zebra-cross, sehingga imo cukup mengganggu mobilitas para pejalan kaki yang padat menyebrang, terutama kalau lagi rush-hour. Yah, kalau dibanding di Indo sih bukan hal yang aneh sama sekali sih :D
ticket+reload T-Money vending machine | (Google) |
Seoul Metro entrance |
Seoul Metro Map (Google) |
Konkuk University Station. taken from Lotte Dept.Store side (Google) |
sign of Konkuk University Station (Google) |
Untung gak lama, keretanya dateng. Saya sengaja pilih pintu yang agak jauh dari tempat nenek itu berdiri. Keretanya cukup lowong karena bukan rush hour, tapi semua kursinya penuh dan saya berdiri dekat pintu. Oh, kecuali kursi untuk disabled person dan orang tua. Tapi gak ada orang biasa yang duduk di situ selain yang disebutkan. Bentuk fisik dan interior dalamnya persis seperti KRL Indo, tapi pastinya lebih bersih terawat dan modern. Ada peta jalur metro dan beberapa iklan, dan layar tv yang berguna untuk iklan dan informasi stasiun. Informasinya juga bilingual, bahkan di halte-halte strategis atau objek wisata, ada tambahan bahasa Jepang dan Cina. Mungkin karena waktu itu sedang berlangsung G20, jadi lebih upgrade :D
sample 2 kinds of Seoul Metros (Google) |
interior Seoul Metro (Google) |
special seats: senior, disabled person, mother w/ small child(ren) (Google) |
Seoul Metro TV screen (Google) |
Oh iya, setiap kali berhenti di setiap stasiun, selain announcer yang oleh saya juluki „e-eonni“, diputar juga musik pendek khas Korea atau di line-line lain potongan musik klasik, kinda interesting.
Gak berapa lama, ada kursi kosong karena penumpang yang turun. Saya gak langsung duduk dan tadinya mau berdiri saja. Tapi, hari ini saya harus jalan seharian, jadi jangan buang-buang energi. Akhirnya setelah lewat 1 stasiun, saya memutuskan untuk duduk. It took about 20 minutes to City Hall Station. Cukup jauh memang, karena daerah Konkuk University ada di bagian timur kota Seoul.
Sampai juga di stasiun City Hall. Karena saya masih newbie dan agak sotoy, saya cuma ikutin ke mana orang pergi. Padahal, pintu keluar di setiap stasiun itu BANYAK! Bisa 10 lebih, dan jaraknya cukup jauh satu sama lain. Saya lupa keluar di pintu berapa, sepertinya gate 10, pokoknya mendekati arah Namdaemun, yang sebenernya salah pintu, malah menjauhi tempat yang akan dituju, Deoksu-gung atau Deoksu Palace. Saya celingak-celinguk cari tanda jalan dan menyusuri jalan ke arah perempatan besar, just following my intuition, dan ternyata intuisi saya kali ini benar. Setelah ketemu jalan besar Daepyeongno, saya belok kiri dan sekitar 200-300 meter jalan terlihatlah gate besar Deoksu Palace, my first destination in my Seoul trip. Sebenernya ada gate metro yang langsung keluar dekat situ, tapi karena salah keluar, terpaksa harus jalan lagi.
City Hall Station sign (Google) |
City Hall Station (Google) |
inside City Hall Station (Google) |
Sampai sana sekitar jam 12.30, sudah cukup siang. Di depan pintu masuknya ada 2 petugas (atau relawan ya?) wanita yang masih relatif muda, memakai tanda “Can I help you” di bajunya yang sedang mengambil foto 2 orang turis bersama beberapa penjaga istana. I took one picture of the the palace’s gate once and I bought the entrance ticket. Fyi, it’s cheap, 1.000 KRW, just about 1 USD! I did some researches sebelumnya tentang harga tiket masuk tiap-tiap istana. Lalu, saya masuk ke dalam istananya melewati para penjaga istana dan petugas yang memeriksa tiket. Area istananya memang tidak begitu besar dibandingkan Gyeongbok-gung atau Gyeongbok Palace yang nanti akan saya kunjungi. Saya sempet bingung mau ke mana dulu sambil liat brosur yang diambil di pintu masuk. Tadinya mau ikut rute rombongan wisatawan lain, tapi saya putuskan langsung ke main palace-nya saja sambil foto-foto sekitarnya. Ada 2 perempuan muda yang duduk di depan meja memakai hanbok musim dingin yang membagikan selebaran di dekat situ.
-idem- |
Deoksu Palace main gate |
Jalannya bercabang 2 yang di tengahnya dipisahkan oleh taman dan pepohonan. Saya menyusuri jalan sebelah kanan. Ada beberapa pohon yang masih hijau, sisanya sudah berwarna kuning atau merah. Lalu saya menaiki beberapa anak tangga dari sebelah kiri. Memang istana utamanya lebih tinggi. Ada gazebo khas Korea dekat tangga di pojok kiri, dan di depannya sebuah pelataran cukup besar. Di bagian kirinya ada sebuah gate besar, dan di bagian kanan-nya adalah main palace of Deoksu.
gate at Deoksu's yard |
main palace of Deoksu |
I took some pictures there and then climbed some stairs to see inner main place from outside. Memang gak bisa masuk ke dalamnya karena memang dilarang dan diberi pembatas. Jadi para wisatawan hanya bisa melihatnya dari batas itu. Saya bertemu seorang wisatawan lokal tengah baya yang ramah dan tersenyum ketika melihat saya, meskipun tidak menyapa. Mungkin dia tahu, kalau disapa pun, saya gak ngerti :)) Gak lama, saya turun dari situ. Saya mau difoto di pelatarannya dengan latar main palace dan gate-nya, tapi berhubung saya sendiri, mau gak mau harus minta tolong ke orang. Saya celingak-celinguk cari orang.
no entry warning! |
inside of Deoksu's |
upper of Deoksu's |
Yang ada di sekitar situ cuma seorang kakek dan cucunya. Tadinya ragu sih, masalahnya kalau orang tua biasanya gak bisa bahasa Inggris. Yah, daripada gak ada, saya beranikan diri aja dengan berbekal pengetahuan bahasa Korea pas-pasan yang dipelajari otodidak.
“Sillyehamnida, nae sajin jjigoyo?”. Saat itu saya gak peduli dengan politeness level pada kalimatnya, yang kepikiran cuma itu.
“Iye”, saya jawab sambil nunjuk tombol kameranya.
Click! And it’s done.
“Gomapseumnida”, I bowed properly. Well, hasilnya gak seperti yang diharapkan sih, ada beberapa yang gak kena, tapi it’s better than nothing lah.
Click! And it’s done.
“Gomapseumnida”, I bowed properly. Well, hasilnya gak seperti yang diharapkan sih, ada beberapa yang gak kena, tapi it’s better than nothing lah.
Lalu saya lanjutkan perjalanan ke area sebelahnya. Di depan saya terlihat taman bergaya modern dan sebelah kirinya berdiri sebuah istana bernuansa Eropa. Di seberang tamannya juga terdapat gedung besar bernuansa sama, sepertinya sebuah museum. Saya gak begitu tertarik karena waktu tinggal di Jerman dulu, sudah biasa lihat yang seperti itu.
Saya lebih memilih ke arah sebelah kiri. Ada sebuah gazebo khas Korea yang memperlihatkan macam-macam benda kuil peninggalan dinasti terdahulu, ada lonceng besar, patung pemujaan+guci-guci bersejarah dan gerobak perang *sepertinya*.
Saya sempat duduk-duduk di depan gazebo sebentar, sambil nikmatin pemandangan sekitar dan lihat anak-anak SD yang sedang berkarya-wisata, berkumpul di kantin sambil ngobrol dan berlari-larian. Karena hari biasa, pengunjungnya gak terlalu penuh, jadi lumayan leluasa.
it's them, the Japanese mom+daughter |
Fyi, bagi pembaca yang belum tahu, saya lebih bisa berbahasa Jepang dibandingkan bahasa Korea yang notabene memang bahasa baru bagi saya, yah meskipun bukan expert juga sih hehehe. Lalu saya menghampiri mereka.
“Ano, sumimasen. Watashi no sasshin, totteimasuka?”
Mereka sempet kaget terheran-heran, lalu tersenyum.
“Ee, mochiron”, angguk si ibu, sementara si anak memegang barang-barang ibu-ibunya.
“Sou iu kanji desune?”, dia memastikan latar gate-nya seperti yang saya inginkan. „Koko desuka?”, sambil menunjuk tombolnya.
“Hai, onegaishimasu“, i smiled.
“Torimasu yo! Smairu!”. Click!
“Mou ichido”, she said. Once more. Click!
This time I checked both pictures and it was GOOD!
“Mou hitotsu no ii n desuka?”, I asked her another picture with palace background. Click!
It’s a good picture too, I was satisfied!
“Arigatou gozaimashita”, I said and nodded a little bit.
“Dou itashimashite. Nihongo ga jouzu desu ne!”, ibu itu kelihatan senang sekali saya bisa berbahasa mereka.
“Iie”, I smiled.
“Jya, futari no sashin mo totte kudasaimasuka?”, anaknya meminta saya dan member kameranya untuk mengambil foto mereka berdua.
Mereka lalu berterima kasih dan kami sempet ngobrol sebentar.
“Nihongo ga jouzu desu ne!”, si ibu mengulang pujiannya lagi.
Kali ini saya jawab, “Arigatou gozaimashita”, biar ibunya senang dan merasa pujiannya diapresiasi deh :D
“Doko kara kimasuka?”, she asked me where I am from.
“Indonesia kara desu”, I replied.
“Aaa, Indonesia-jin desu ne”
“Hai. Sou desu”
“Hai?”, saya ingin dia mengulang pertanyaannya.
“Kankokugo mo dekimasuka?”, dia bertanya apa saya bisa berbahasa Korea juga.
“Aaa…sukoshi”, I smiled. Mestinya sih saya bilang amatir! Hahaha.
“Heee…ii desu ne”, they were amazed.
After that we bode farewell.
“Jya, sayounara”, they smiled and bowed.
“Sayounara”, I did the same gestures as them.
Setelah itu saya ke bagian belakang istana. Gak banyak yang bisa dilihat di situ. Ada dua tempat yang sepertinya dipergunakan untuk ruang pertemuan dan yang satunya lagi untuk jamuan makan. Setelah foto-foto sebentar, saya keluar dari Deoksu-Palace. Mungkin saya di situ hanya 30-45 menit-an.
conference hall |
dining hall |
-ditto- |
interior of dining hall |
*maapgaktaukenapahasilnyaginipadahaldahrotated* |
kind of grave stone |
-ditto- |
City Hall area |
Dan saking ignorant-nya, saya sampai gak ngeh dan masih berpikir dengan bodohnya: POLISI DI SEOUL BUANYAK BUANGET! Lalu lalang di mana-mana, ada di setiap sudut dan tiap 100 meter! Apalagi yang berjaga di setiap stasiun metro. Saya pikir, “Ini kota hebat banget, penjagaannya sampai seketat ini! Saya merasa aman sekali! Even di Jerman gak segininya!”, dan masih mengira memang begitu setiap harinya. Makanya saya salut banget ! ( ̄▽ ̄)ノ_彡☆hahaha -> OBAKATARE!
Gwanghamun Square from afar |
Untuk mencapai sana, saya harus menyeberangi some interserctions dan zebra-crosses karena traffic-nya padat sekali. Tadinya saya mau mampir ke tourist information yang terletak di pojok intersection, gak jauh dari pintu keluar Gwanghamun Station, yang entah gate berapa. Tapi saya mengurungkan niat dan melewatinya saja.
Saya menunggu sampai lampu hijau pejalan kaki nyala di penyeberangan terakhir menuju Gwanghamun Square. Dari situ sudah tampak Gyeongbok Palace plus bukit besar di belakangnya. Perpaduan yang bahasa lebay-nya disebut “spektakuler”. Karena Square-nya memang berada di di tengah-tengah dan dikelilingi jalan besar. Di tengah kerumunan, saya melirik sekumpulan orang yang berisik sekali berbicara satu sama lain dan SAYA MENGERTI 100%! Tak lain dan tak bukan adalah sekumpulan orang Indo! Kemungkinan besar kelompok tour dari travel gaya-gayanya sih. Mereka berbicara tentang udara Seoul yang memang siang itu cukup dingin, tapi saya lupa detilnya. Saya diam saja dan tetap konsen ke lampu penyeberangan. Tapi memang dasar orang Indo, pasti rasa penasarannya tinggi.
Salah satu perempuan melihat saya dan langsung menanyakan, „Orang Indonesia ya?”
Saya tersenyum mengiyakan.
Lalu dia nyeletuk, “Duh dingin banget ya. AC-nya kecilin kenapa?“
“Iya nih”, teman-temannya yang lain menimpali.
“Gak ada yang pegang remote-nya sih, mba “, jawab saya spontan.
“Hahaha iya. Ngomong-ngomong tinggal di sini?”
“Gak, saya lagi jalan-jalan aja”
“Oooh…”
Percakapan gak berlangsung lama karena lampu hijau pejalan kaki sudah nyala. Saya kira mereka mau ke tujuan yang sama, ternyata beda.
“Duluan ya. Selamat jalan-jalan”, they bode farewell and were in hurry, catching their group in the front.
Lalu saya berbelok menuju pusat Gwanghamun Square mendekati arah Gyeongbok Palace. Daaan, DENGAN ELOKNYA, saya gak lihat jalan dan kaki kiri saya tercebur ke dalam saluran kecil air mancur yang memang mengalir dan mengelilingi jalan itu! GOOD GRIEF! Gak sampai kuyup banget sih, tapi cukup membuat sepatu boot suede coklat saya basah. Untungnya, boot-nya agak tebal dan cepat kering, jadi airnya gak sampai rembes ke dalam kaos kaki! Bisa freezing ini kaki kena air di cuaca yang dingin itu! (T_T)
Admiral Yi Shun Shin statue |
Dan seperti saya bilang, polisi juga banyak yang berjaga di sekitar situ. Entah kenapa, mereka konsentrasinya tinggi sangat ya? Ancestor-nya mungkin dulu para penjaga istana yang bisa berjam-jam jagain istana bak patung? Mereka berdiri tak bergeming, gak kalah sama patung Admiral Yi Shun Shin dan King Sejong yang memang berlokasi di situ! :)) Sebelumnya juga sempet lihat di salah satu pintu keluar di Gwanghamun Station. Para polisi yang relatif masih muda bergantian shift menjadi “patung” penjaga XD
-ditto- |
King Sejong Statue |
-ditto- |
Kemudian saya lanjutkan perjalanan. Di belakang patung, tepatnya di bagian underground, ada museum, King Sejeong Residence. Saya gak ngeh sebelumnya kalau ternyata yang dimaksud bestie itu tempatnya di situ, kirain somewhere else terpisah. Saya agak ragu masuk ke dalam, soalnya tempatnya memang agak tertutup dan dijaga petugas, jadi saya sempat memfoto pilar-pilar di sekitar situ dengan berlatar belakang Gyeongbok Palace dari kejauhan. Kinda nice :)
Pada akhirnya saya mem-pede-kan diri untuk masuk. Heee, petugasnya berpakaian formal dan rapi sekali, menyapa, "Annyeonghaseyo", and I just replied the same phrase and nodded.
Sejong Residence |
its entrance wall hall (left) |
its entrance wall hall (right) |
old script book |
"hangeul" seat |
captured by East Europeanese |
hangeul developments time to time |
Gyeongbok Palace from Sejong's Residence |
across main gate of Gyeongbok |
Gyeongbok main entrance |
-ditto- |
-ditto- |
its courtyard |
main palace |
inside the main palace |
-ditto- |
-ditto- |
Lalu saya menyusuri area istana dari sebelah kiri. Bener kata bestie, Gyeongbok itu LUAAAS banget. Butuh 1-2 jam sendiri untuk „tawaf“! Oh iya, waktu itu ada lalu lalang serombongan keluarga kerajaan, entah cuma cosplay atau beneran, tapi saya gak terlalu perhatikan dan hanya lihat sekilas.
Kemudian saya menuju salah satu istana yang kebetulan di dalamnya ada pameran foto dokumentasi dari sejarah istana Gyeongbok masa lalu iianm, entah karya siapa. Saya harus membuka boots untuk memasuki ruangan tersebut. Cukup repot, tapi ya apa boleh buat. Saya sempet foto dan putar-putar sebentar. Mostly yang ada di situ orang-orang tua yang tertarik dengan foto dan sejarah mungkin. Gak lama saya di situ, lalu saya keluar lagi. Nah, kebetulan rombongan keluarga kerajaan yang saya bilang tadi pas lagi ada di depan situ, dan saya buru-buru mendekati dan foto sebenatar. Gak begitu jelas sih, cuma dari belakang. Karena banyak wisatawan lain yang berkumpul di dekat situ juga, dan saya gak mau berdesak-desakan. Yang penting ada jepretan sedikit. Lalu saya melanjutkan lagi ke bagian belakang dari istana yang dipergunakan untuk pameran tadi.
royal parade or just cosplay??? |
Ada sebuah danau buatan yang di tengahnya ada sebuah hmmm…mungkin tempat santai dan peristirahatan keluarga kerajaan jaman dulu. Tapi sayangnya, lagi-lagi ditutup untuk umum. Jadi wisatawan hanya bisa lihat dari seberang danau. Di pinggir danau banyak orang yang mengambil foto, baik yang amatiran sampai yang profesional dengan perlengkapan yang lengkap. Sebelum saya lanjut ke area paling belakang dari istana, saya menyempatkan diri ke toko yang ada di sebelah kanan yang berjarak kira-kira 50 meter dari tempat saya berdiri. Niatnya mau beli baterai karena seperti yang saya tulis sebelumnya, kamera saya ngadat dan selalu low bat. Ternyata setelah saya ke sana, toko kelontong itu cuma jualan souvenir. Oh well, saya gak niat beli souvenir di tempat wisata, jadi saya gak beli apa-apa dan lanjut jalan lagi. Saya mengambil rute dari kiri. Jadi saya balik ke tempat saya berdiri tadi dan melanjutkan perjalanan ke arah kiri belakang sambil menyisiri danau. Saya sempat foto objek yang sama dari arah samping, dan tiba-tiba ada seorang kakek yang menyapa saya dengan bahasa Inggris yang cukup jelas dan lumayan fasih.
„Do you want me to take you a picture?”, he asked.
“Oh yes, thank you”, I smiled and gave him my camera.
Click!
“Can you take me picture too?”
“Of course”, I said.
“Thank you”
“My pleasure”
“Where do you come from?”
“Indonesia. And you?”
“I’m from here, I’m Korean”
“Oh, I thought you’re from Japan or China”, I replied.
“No..no…”
“I see. Well, I shall take my leave. Good bye. Thank you”, I bode farewell and nodded.
“You’re welcome. Goodbye”, he smiled.
Saya menemui taman yang cukup luas, mengingatkan saya pada Herrenhäuser Gärten di Hannover dulu. Tapi entah kenapa, daerah situ sepi pengunjung. Hanya terlihat beberapa yang berlalu lalang di sana. Even ketika masuk istananya pun sepi sekali. Meskipun sudah agak sore, untungnya masih terang. Kalau gak, sepertinya rada horor di situ :D, karena waktu saya putar-putar di situ, tak ada satu orang pun yang saya temui. Baru waktu saya selesai, ada 3 orang yang baru datang untuk lihat-lihat.
scene from my seat |
Ada sebuah gate besar di kirinya yang dijaga seorang petugas keamanan yang relatif masih muda dan wisatawan yang masuk ke situ. Tadinya saya ragu untuk ke sana, saya kira itu bagian istana yang memang sedang ditutup dan dilarang masuk. Jadi sebelum saya memutuskan untuk ke situ, saya sempet foto istana yang berada persis di kanannya.
Lalu saya masuk ke gerbang itu dan ternyata itu adalah pintu keluar bagian selatan dari gerbang utama. Saya balik lagi untuk masuk, tapi kali inipetugas keamanan itu mendekati dan menanyakan saya. Tadinya saya tidak mengerti karena pertamanya dia bicara bahasa Korea, lalu dia mencoba bicara dengan bahasa Inggris logat Korea yang terputus-putus, tapi cukup dimengerti lah *nice try* :D Berikut conversation yang saya ingat dan sudah saya perbaiki grammar-nya biar bisa dimengerti :D
„Do you speak English?“, he asked me.
“Oh, yes”, still confused, why I was like being “interviewed”.
“Where do you come from?”
“Indonesia”
“Are you a Moeslem, aren’t you?”
“Yes?”, waktu itu saya rada parno ditanya seperti itu, karena sepertinya dicurigai berlebihan.
“Oh, it’s like I thought, because you’re wearing…hijab, is that right? that thing on your head?”
“Yes”, I still shortly anwered, felt agitated.
“I’d seen it in television before, but this is the first time I’ve seen it directly. You look (….) on that”, he explained.
“Oh…”, I just replied. I didn’t understand well what he said, because of his pronounciation. I didn’t know whether he said “ugly” or “funny” or “lovely” or sounded like that. Whatever, I didn’t really care he’s talking bad or good about me and didn’t wanna make him repeat what he said to me.
“So, why don’t you check it out what’s there?”, he said.
“Is that an exit?”, I asked.
“Yes. There’s a famous Blue House of Representative building in Korea there”
“Can I enter this place again later after I go out?”, I tried to get reconfirmation.
“Of course. You still have the ticket, right?”
“Yeah. Ok then.”
Blue House |
South Gate of Gyeongbok |
Saya ambil tiket kalau diperiksa waktu mau masuk lagi. Ternyata gak perlu. Petugas loketnya cuma senyum saja. Mungin dia tadi lihat saya bolak-balik. Dan saya masuk lagi ke gate yang dijaga petugas yang meng”interview” saya tadi.
“Did you see it?”
“Oh, yes. Kamsahamnida. Good bye”
“Sure. Goodbye”, still looking at me as I was leaving those place.
Oh well, he’s a nice person, who’s just curious actually. I didn’t give a d*mn over such a small thing.
Di depan pelataran besar gate itu ada sebuah teras atau lebih tepatnya gazebo berbentuk pagoda di tengah-tengah danau kecil. Sebetulnya ada jalan menuju pagoda itu, tapi lagi-lagi jalan masuknya ditutup. Akhirnya saya menyusuri pinggir danau itu sambil foto pagoda itu dari seberang danau dan pohon-pohon di sekitarnya. Karena lagi musim gugur, pemandangannya cantik sekali, dedaunan pohon-pohonnya berwarna kuning dan merah menyala. Lucky for me, pada saat itu belum rontok atau gundul. Padahal waktu di Jerman dulu, bulan November, hampir seluruh pohon sudah gundul, jarang sekali yang masih terlihat “kecantikannya”.
Waktu itu saya berada di pojok sebelah kanan kompleks istana Gyeongbok dari pintu masuk utama. Di sebelah danau yang saya susuri, terlihat jelas bangunan megah menjulang tinggi bergaya tradisional. Dari jauh pun sebetulnya sudah kelihatan saking tingginya. Sebelumnya saya tidak tahu itu bangunan apa, karena dengan bodohnya saya lupa ambil brosur istananya, yang belakangan saya ketahui itu adalah The National Folk Museum of Korea. Areanya dipisahkan dengan pagar dan loket pembelian tiket dari istana Gyeongbok. Sebetulnya saya ragu-ragu mau ke sana atau tidak.
Akhirnya selama berpikir, saya masuk ke depan kompleks bagian agak depan, yang berarti hampir sejajar dengan istana utama, bagian sebelah kanan. Gak banyak yang bisa dilihat di situ karena isinya gak beda jauh dengan yang lainnya, lalu saya balik lagi ke tempat itu dan sempat foto-foto sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke museum. Lagian saya sudah di situ, sayang kalau gak mampir sekalian.
Akhirnya selama berpikir, saya masuk ke depan kompleks bagian agak depan, yang berarti hampir sejajar dengan istana utama, bagian sebelah kanan. Gak banyak yang bisa dilihat di situ karena isinya gak beda jauh dengan yang lainnya, lalu saya balik lagi ke tempat itu dan sempat foto-foto sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke museum. Lagian saya sudah di situ, sayang kalau gak mampir sekalian.
Saya mengantri di pintu masuk dan mengira harus membayar tiket lagi, ternyata tidak! Waktu saya mau bayar, petugas di situ memberitahu saya dengan bahasa Inggris yang yah…cukup dimengerti lah. Intinya petugasnya bilang, “You don’t have to pay anymore. You have the ticket, right?”. “Oh, yes”, I showed him my ticket. Dan dia mempersilakan saya masuk as I thanked him.
The National Folk Museum of Korea |
captured by Indo tourist |
art gallery market |
-ditto- |
-ditto- |
Korean national clothes |
variety of Kimchi foods |
traditional men clothes |
traditional Korean cooking's processes |
-ditto- |
- to be continued to 3rd Chapter part 2 -